Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Demi Rawat Anaknya yang Disabilitas, Wanita di Bireuen ini Rela Dicerai Suami

 


KabarJW – Jauhari (41), Warga Meunasah Rabo, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, menjadi orang tua tunggal untuk dua putranya sejak 11 tahun silam.

Status janda disandangnya saat ini, karena diceraikan suami, saat usia anak bungsunya yang disabilitas berumur 4 tahun

Mantan suaminya, diduga keberatan apabila hasil kerja mereka sehari-hari, dihabiskan hanya untuk biaya berobat. Sehingga, akibat beda pendapat, Jauhari bersama dua anaknya ditinggalkan tanpa dipenuhi lagi kebutuhan hidupnya hingga sekarang.

Hal tersebut dikeluhkan Jauhari pada KabrJW, Rabu (5/7/2023) saat disambangi ke rumahnya.

“sekarang anak saya berumur 15 tahun, namun masih menggunakan popok. Semua aktivitasnya mesti dibantu, tidak bisa dilakukan sendiri, mulai dari makan disuap, dimandikan, dipakaikan pakaian, hingga dibersihkan hajadnya, mengingat makanan cuman mampu dipegang, tidak tau cara makan sendiri,” ceritanya dengan raut wajah sedih, sambil menyeka air mata.

Ia mengisahkan, saat usia anaknya baru memasuki dua bulan, pernah terjadi kecelakaan jatuh ayunan ke atas kepalanya, namun tidak ada reaksi yang mengkhawatirkan saat itu.

Lima bulan kemudian, kondisi kesehatannya mulai tergangu, tiba–tiba menangis kencang secara spontan, tidak lagi memanggil mamak dan ayahnya, hanya melihat dan mengkedipkan matanya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Sebelum bisa berjalan, pernah diterapi di Puskesmas Peudada selama tujuh bulan. Dalam satu minggu, tiga kali pertemuan," rincinya.

Ia juga mengaku, setelah usianya sembilan tahun, Musaddi sudah bisa berjalan, mungkin karena dinazarkan oleh almarhum Abu Tumin Blang Bladeh. Kemudian, Jauhari melanjutkan pengobatan ke rumah sakit umum dr Fauziah Bireuen selama dua bulan, hingga akhirnya dihentikan karena tidak ada perubahan, bahkan petugas rumah sakit mengaku anaknya tidak ada penyakit apa-apa disaat itu.

"karena tidak ada biaya pengobatan, akhirnya saya membawa Musaddi ke pengobatan patah dan terkilir. Disana tidak ada patokan harga, tergantung ada rezki, dan sering dikasih Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu. Alhamdulillah ada sedikit perubahan di fisiknya Musaddi," sebut Jauhari.

Lain halnya dengan anak sulungnya, Mulyadi Saputra (19) yang kondisinya non-disabilitas. Ia lulusan sekolah Taman Kanak (TK), dan sempat mondok di dayah selama tiga bulan.

"Mulyadi selalu berusaha membantu meringankan beban keluarga sesuai kemampuannya. Ia  kerja di warung kopi, dengan upah Rp 15 ribu per malam. Walau demikian, Mulyadi selalu menyisihkan uang untuk kami," pungkas Jauhari dengan nada sedih.

Ia juga menceritakan kondisi anak keduanya yang sering mengalami deman, hingga harus istirahat berhari-hari di kamar.

Jika sakit, Mulyadi dibawa ke Puskesmas Peudada karena jaraknya lebih dekat, dibandingkan berobat ke Rumah Sakit Umum.

"Jika Musaddi dan Mulyadi sakit, saya sering meminta obat di Polindes, jaraknya sekitar 200 meter dari rumah," akui Jauhari kepada KabarJW.

Selaini itu, saat ini rumah yang ditempati janda malang itu, sudah pernah direhab pada 2017 menggunakan anggaran sejumlah Rp 15 juta, yang bersumber dari Dana Desa (DD).

Akan tetapi, tidak banyak yang bisa diperbaiki dari dana tersebut, disebabkan tiang-tiang rumah harus diganti semua, karena sebelumnya hanya dipakai kayu biasa yang tidak diolah.

Dinding rumah juga terbuat dari anyaman bambu, dan di dalamnya ditempelkan kertas koran agar tidak tembus pandang ke luar.

Kemudian, atapnya juga dipasang daun kelapa, dengan kesan bahwa yang penting sudah ada tempat tinggal seperti orang lain.

Jauhari juga bertahun-tahun harus numpang listrik, mandi, dan mencuci di sumur ayahnya M Amin Yusuf, karena kebutuhan tersebut tidak ada di rumahnya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari, ibu dua anak tersebut pernah bekerja beberapa toko dan warung, tapi harus berhenti karena tidak ada yang merawat anaknya.

Jauhari beralih kerja di gampong, seperti menanam padi di sawah orang, membersihkan kebun orang lain, dan pekerjaan tani lainnya.

Pada 2021 hingga 2022, Jauhari bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) dengan gaji Rp 700 ribu perbulan. Namun itu belum mampun memenuhi kebutuhan pokok dan pengobatan anak-anaknya.

Selama tiga bulan belakangan ini, Jauhari mendapatkan bantuan beras 10 Kilogram, dari Bantuan Pemerintah Non Tunai (BPNT).

Sedangkan Program Keluarga Harapan (PKH), ia mengaku sudah tidak cair lagi semenjak Agustus 2022 hingga Juni 2023.

Kondisi itu, sudah pernah disampaikan ke petugas PKH, dan diarahkan untuk langsung ke dinas sosial (Dinsos) Bireuen untuk membuat laporan.

Sementara itu, Suryadi (46) Keuchik Meunasah Rabo menyarankan kepada Jauhari supaya PKH diusulkan kembali, mengingat tanggungannya berat apalagi statusnya janda, yang memiliki anak disabilitas.

"Kami perangkat desa akan mendampingi Jauhari ke Dinsos Bireuen untuk menanyakan kejelasan PKH yang diterimanya. Jika tidak terdata lagi di PKH, maka akan kami masukkan sebagai penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)," sebut Suryadi.

Ia juga mengaku, akan berupaya pengadaan meteran listrik gratis, yang akan dianggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong - Perubahan (APBG-P) Tahun Anggaran 2023.

"Mengenai dengan rumah Jauhari, sudah  direhab juga pada 2022 lalu dari program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta sudah dibangun WC leher angsa," ujar Keuchik Suryadi. [Afrizal/ JW Bireuen]


Posting Komentar

0 Komentar