KabarJW-
Mawardy (30), merupakan seorang aktivis sosial yang sudah hampir sepuluh tahun fokus
dalam pendampingan disabilitas.
Pemuda
yang kerap disapa Ardy, kelahiran Simpang Mamplam ini, melihat bahwa ada
fenomena sosial terputusnya komunikasi, antara disabilitas tuli dengan
masyarakat lain pada umumnya.
Sehingga
menggerakkan hatinya untuk berkontribusi lebih banyak, kepada mereka yang
sering disebut manusia “istimewa”.
Salah
satunya adalah membuka kelas bahasa isyarat, kepada Juru Bahasa Isyarat (JBI) pemula
di Kabupaten Bireuen.
Bahasa
isyarat adalah bahasa tubuh, dan gerak bibir. Terkadang menggunakan suara untuk
berkomunikasi. Bahasa ini bukan dengan kata-kata verbal, melainkan gabungan
ekspresi, sandi atau isyarat.
Sehingga
membuat mereka menarik diri dari lingkungan yang berkomunikasi dengan bahasa
lisan.
“disabilitas
dianggap sebagai kelompok marjinal atau terpinggirkan, tetapi keberadaan
disabilitas tuli seolah terpinggirkan dari yang terpinggirkan,”jelasnya.
Mereka
tidak mendapat akses apapun dalam pelayanan publik, saat ini di kabupaten
Bireuen, Ardy mempertanyakan, dimana ada unit layanan publik yang menghadirkan
JBI untuk mempermudah disabilitas tuli.
“bahkan
ada diantara mereka yang menjadi korban pelecehan seksual, namun saat
berhadapan dengan penegak hukum dan lainnya, mereka memiliki keterbatasan. Atau
lihat saja di Puskesmas, kantor Kecamatan, sekolah, dan lainnya apakah ada
kemudahan akses untuk mereka?,” tanya Ardy saat diwawancarai tim KabarJW.com,
pada Kamis (26/01/2023)
Ardy
yang juga merupakan salah satu alumni dari SMA Negeri Simpang Mamplam, dan pernah
berkecimpung di Generasi Berencana (GenRe) dibawah binaan Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sudah menjadi JBI sejak awal 2017.
Salah
satu prasyarat untuk menjadi JBI harus berdasarkan pendidikan dan pekerjaan, sedangkan
pada 2015 Ardy sudah mengajar di Sekolah
Luar Biasa (SLB).
Berangkat
dari keresahan diatas, maka Ardy, yang merupakan salah satu aktivis dari
Generasi Demokrasi Resiliensi (DemRes), berinisiatif membuka kelas bahasa
isyarat dan mengajak rekan-rekannya untuk saling berkolaborasi.
Bahasa
yang diajarkan yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat
Indonesia (Bisindo), karena Ardy juga sangat menguasai keduanya.
"semoga
dari kelas ini, bisa terhubungnya disabilitas tuli dengan kita, dan mendapatkan
pelayanan dari pemerintah secara adil dan merata. Selain itu, juga untuk
menghilangkan stigma/ pandangan masyarakat terhadap mereka yang istimewa dalam
berkomunikasi (bahasa isyarat)." ujarnya.
Kelas
tersebut mendapat dukungan dari LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), yang saat ini
juga sedang berfokus kepada akses layanan kepada setiap elemen, termasuk
pemenuhan hak-hak disabilitas melalui program DemRes, yang digagas oleh The Asia Foundation (TAF) dan didukung
oleh Departement of Foreign Affairs and
Trade Australia (DFAT).
Saat
kelas perdana pada 21 Januari 2023, Ardy menyampaikan untuk menjadi JBI, modal
dasarnya adalah sering berinteraksi dengan disabilitas tuli serta memiliki
ketertarikan.
“termasuk
kecermatan berdiksi, dan mampu beradaptasi dengan kecepatan mendengar atau
membaca informasi lalu diterjemahkan dalam bahasa isyarat,” papar Ardy.
Muhammad
Achdan Tharis (22), dari Generasi DemRes Bireuen, dipercayakan oleh Ardy
sebagai Person In Charge (PIC) atau
penanggungjawab kelas bahasa isyarat, memberikan tanggapannya tentang kegiatan
yang mereka lakukan.
"Kami
membuka kelas JBI bagi pemula, khusus untuk anggota koalisi muda DemRes Bireuen
sebagai kelas ujicoba,” jelasnya.
Pertemuan
dijadwalkan dua kali dalam seminggu, yaitu Jumat dan Sabtu setiap pukul tiga
sore. Kelas bahasa isyarat untuk batch
(angkatan) pertama, akan dilaksanakan selama empat bulan. Serta dilengkapi
dengan modul pembelajaran.
[Rahman
Efendi & Ardy / Jurnalis Warga Bireuen]
0 Komentar