Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget


Etika dan Keamanan Jurnalis Jadi Isu Mendesak di Bireuen

 


KabarJW — Sejumlah jurnalis profesional dan jurnalis warga dari Kabupaten Bireuen merumuskan langkah konkret menghadapi ancaman disinformasi dan memperkuat etika jurnalistik dalam forum Konsolidasi Wartawan: Menjaga Stabilitas Demokrasi dan Menghadapi Ancaman Distorsi Informasi, yang berlangsung selama dua hari pada 20–21 Juli 2025.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh LSM GeRAK Aceh bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dan didukung oleh The Asia Foundation sebagai bagian dari program Demokrasi Resiliensi (DemRes) di tiga wilayah Aceh.

“Forum ini adalah titik awal yang krusial untuk membangun jurnalis yang benar-benar sadar akan tanggung jawab moralnya terhadap publik,” tegas Murni M. Nasir, Program Officer Demokrasi Resiliensi (DemRes) saat membuka kegiatan.

Ia menegaskan bahwa, penyebaran hoaks yang masif tidak hanya memecah belah masyarakat, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi dan proses demokrasi.

Lebih jauh, keamanan jurnalis dalam peliputan adalah isu yang tidak bisa ditawar. Ancaman fisik, intimidasi, dan serangan digital terhadap wartawan bukan hanya serangan pada individu, melainkan serangan terhadap kebebasan pers dan hak publik memperoleh informasi yang benar.

“Melindungi jurnalis sama artinya dengan melindungi demokrasi itu sendiri,” ujar Murni.

Ia menegaskan perlunya gerakan bersama yang melibatkan jurnalis, warga, dan elemen masyarakat untuk menjaga keamanan serta kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi. Tanpa perlindungan dan kerja kolektif, ruang publik yang sehat dan demokratis tidak akan terwujud.

Pada hari pertama, Puji W. Susanti, Presidium Mafindo dari Jakarta, menyoroti peran jurnalis dalam menjaga demokrasi dari serangan hoaks. Ia menekankan bahwa dalam jurnalisme, kecepatan bukan segalanya.

“Jurnalis tidak cukup hanya cepat, tapi harus benar dan berdampak. Tanpa itu, kita menjadi bagian dari masalah,” tegas Puji.

Puji juga mengajarkan keterampilan verifikasi digital, seperti penggunaan Google Reverse Image, InVID, dan teknik pemeriksaan metadata untuk menangkal manipulasi visual di media sosial.

Dalam sesi tanya jawab, Azri dari AJNN menanyakan sikap Mafindo terhadap hoaks dari institusi resmi. Puji menjawab,

“MAFINDO tetap melakukan verifikasi, bahkan terhadap institusi resmi. Kredibilitas tidak boleh hanya berdasarkan sumber, tapi pada fakta dan data.”

Hari kedua diisi oleh Adi Warsidi, pengurus AJI Indonesia, yang membahas Kode Etik Jurnalistik dan Keamanan Jurnalis. Ia menekankan bahwa kode etik adalah kompas moral, bukan sekadar aturan tertulis.

“Jurnalis harus menjadi penjaga kebenaran. Itu hanya mungkin jika etikanya kuat, bukan sekadar bisa menulis cepat,” ujarnya.

Adi menjelaskan kewajiban verifikasi, hak tolak narasumber, larangan plagiarisme dan rekayasa informasi, serta pentingnya perlindungan jurnalis dari ancaman fisik, digital, dan psikologis.

Menjawab pertanyaan apakah jurnalis warga wajib menerapkan prinsip keberimbangan, ia menjawab.

“jurnalis warga adalah pemberi informasi, dia tidak punya tanggungjawab untuk melakukan wawancara kepada narasumber lainnya untuk menjaga keberimbangan.”

Mengenai plagiarisme, Adi menegaskan bahwa pelanggaran hak cipta dapat dikenai sanksi hukum. “Plagiarisme itu pencurian intelektual, tidak peduli kamu jurnalis besar atau warga, itu tidak bisa dibenarkan.”

Soal wartawan yang menyalahgunakan profesi alias “wartawan preman,” Adi menegaskan, “Jika kita ingin jurnalisme dipercaya, kita harus berani menyapu bersih praktik busuk di dalamnya.”

Sesi terakhir difasilitasi Puji W. Susanti dengan menyepakati 10 poin rencana tindak lanjut, termasuk pembentukan forum keamanan jurnalis, kampanye literasi digital dan anti-hoaks, pendirian Sekolah Anti Hoaks, pelatihan di sekolah dan kampus, kolaborasi jurnalis profesional dan warga, serta penolakan terhadap wartawan preman.

“Kita butuh lebih dari sekadar wartawan — kita butuh penjaga ruang informasi,” tutup Puji.

Dengan semangat kolektif, forum ini menandai komitmen baru jurnalis Bireuen untuk menjaga demokrasi — bukan hanya lewat berita, tapi juga melalui nilai, integritas, dan keberanian melawan distorsi informasi.

 

[Afrizal/ Jurnalis Warga]


Posting Komentar

0 Komentar