Oleh: Rahmadsyah Harahap
Akhir
pemerintahan Sri Ratu Safiatuddin pada tahun 1672, ia menerbitkan sarakata (cap sikuereung) pendirian keujruen
Pusangan Raya dan menunjuk panglima perang Teuku Diadjat Pasee sebagai Keujruen
Syik Peusangan Raya. Tak lama kemudian Sri Ratu wafat pada tahun 1675 karena
diracun oleh lawan politiknya. Pada sarakata disebutkan bahwa keturunan
raja-raja Peusangan terdiri dari 3 jalur nasab, yaitu :
- Dari
Hadramaut Yaman melalui Tu Praja Chiek Yamani cicit Saydina Hasan ra.
- Marga
Al Habsyi yang berasal dari Abbasiyah Irak.
- Dari
Persia melalui pangeran Shahriansyah Salman dari kerajaan jeumpa yang
bercampur dengan klan dinasty Abbasiyah, Irak.
Ketiga jalur tersebut bermuara pada Bani
Hasyim dan dinasti Mamluk yang mendirikan kekhalifahan Islam Maroko di Afrika
Utara. Dalam sarakata disebutkan juga tahun 1182 H (1672/3 M), Panglima Teuku
Diadjat Pasee atau PONYAK DJAT mendapat hadiah sarakata (surat pengakuan cap sikureung)
dari sultan aceh yang diperintah oleh Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641 -
1675) dengan gelar "Keujruen Chik Peusangan Seutya Radja". Ponyak
Djat atau Panglima Perang Teuku Diadjad Pasee adalah seorang panglima perang
dari Pasee yang hijrah peusangan dan di angkat menjadi keujreun syiek di
Peusangan Raya oleh sultan aceh. Menurut yang tercatat dalam kitab sarakata
sultan aceh beliau masih keturunan ahlulbait dari garis sayyidina Hasan ra yang
berasal dari dinasti abbasiyah irak.
Batas wilayah kekuasaan Keujruen Peusangan raya disebutkan terbentang dari wilayah
timur Kuala Meuraksa Puenteut, Lhokseumawe sampai batas wilayah barat Glee
Meunaleung, Cot Geuleungku, Krueng Pandrah Bireuen dan terbagi dalam 6
pemerintahan kemukiman yaitu :
- Kemukiman Jeumpa
termasuk dalam wilayah ini adalah wilayah Bireuen, July, Peudada (jeunib).
- Kemukiman Glumpang Dua
yang termasuk dalam wilayah ini adalah matang glumpang dua, krueng panjo,
kuta blang dan geuruegok.
- Dataran tinggi
kemukiman Sawang.
- Dataran rendah
kemukiman Blang Panyang yang meliputi nisam, Keude Bungkah, Krueng Geukueh,
Batuphat dan Keude Paloh.
- Kemukiman
Cunda, wilayah ini meliputi pekan Cunda, Buloeh dan Kandang.
- Kemukiman Bayu Meuraksa wilayah ini meliputi, Meuraksa, Keude Bayu dan Keude Puenteut
Adapun garis kepemimpinan Keujruen Peusangan Raya yaitu dimulai dengan keturunan pertama yang terdiri dari Teuku Monga Kasim, merupakan putra pertama teuku diadjat pasee. Dicatat bahwa ia tidak memiliki keturunan dan meninggal karena penyakit yang dideritanya. Teuku Chik Meunasah, putra kedua dari Ponyak Djat, menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Keujruen Syik Peusangan. Sedikit sekali literature mengenai yang bersangkutan sehingga tidak diketahui kapan mulai menggantikan ayahnya. Teuku Chik Meunasah wafat dan digantikan oleh saudara dari lain ibu Teuku Chik Lampoeh U. Teuku Chik Lampoeh U, putra Teuku Diadjat Pasee dari istri keduanya, saudara teuku Chik Meunasah dari lain ibu. Teuku Chik Lampoeh U ditunjuk oleh sultan aceh utk menggantikan kedudukan Teuku Chik Meunasah yang wafat dan juga sekaligus pemangku raja sementara berhubung putra mahkota Teuku Chik Nyak Krueng masih di bawah umur. Setelah Teuku Chik Nyak Krueng cukup umur dan naik tahta menggantikan abangnya Teuku Chik Lampoeh U, beliau hanya diperkenankan mengurusi wilayah yang lebih kecil yaitu mukim Blang Panyang (Nisam), beliau juga merupakan ayah dari Teuku Bentara Keumangan Peutuha Blang Panyang, Nisam. Teuku Bentara Kuanta (Teuku Chik Nyak Krueng), merupakan putra bungsu Teuku Diadjat Pasee yang menggantikan kedudukan abangnya Teuku Chik Lampoeh U sebagai Keujruen Peusangan Raya. Teuku Bentara Kuanta (Teuku Chik Nyak Krueng) naik tahta menjadi Keujruen Peusangan saat usia masih muda. Beliau memang telah dipersiapkan sebagai putra mahkota menggantikan posisi abangnya sebagai pemangku kerajaan (Wali Negeri). Keujruen peusangan mencapai pucak kejayaan di masa Teuku Bentara Kuanta (Teuku Chik Nyak Krueng) memegang tampuk kekuasaan (1844 - 1968). Dimana pertanian dan nelayan sebagai mata pencaharian utama penduduknya. Keujruen Peusangan juga menjadi daerah lumbung beras, selain pinang , pala, lada, kemiri (boeh kiroe) dan kopra (u cuelek) sebagai komoditas utama perdagangan negeri ini. Tercatat ada beberapa pelabuhan perdagangan hasil bumi yang terdapat di wilayah Keujruen Peusangan Raya yaitu, Kuala Peudada, Kuala Jeumpa (Kuala Raja), Kuala Ceureupei, Kuala Manee, Kuala Bangka (Kuala Geukueh) dan Kuala Meuraksa. Pada tahun 1868, Teuku Chik Nyak Krueng wafat dan digantikan oleh putra sulungnya T. Chik Muhammad Hasan.
Selanjutnya tercatat bahwa Keujruen
Peusangan Raya di pimpin oleh keturunan ke-2 dimulai dari
Teuku Bentara Keumangan, merupakan
putra dari Teuku Chik Lampoeh U, bekas penguasa Keujruen Peusangan Raya. Teuku
Chik Lampoeh U dilengserkan oleh sultan aceh karena dianggap tidak mampu dan
kurang cakap dalam menjalankan pemerintahan. Beliau kemudian hanya diberi
jabatan sebagai Ulee Balang (Peutuha) kemukiman Blang Panyang (Nisam). Selanjutnya
kedudukan sebagai Ulee Balang Blang Panyang digantikan oleh putranya Teuku
Bentara Keumangan. Mesjid tua Kuala Manee, Krueng Manee, Mesjid tua Dakuta,
Meunasah Drang dibangun pada masa Teuku Bentara Keumangan menjabat sebagai Ulee
Balang (Peutuha) Blang Panyang tahun 1823. Jabatannya sebagai Ulee Balang Blang
Panyang kemudian digantikan oleh anaknya Teuku Rhi Mahmud Nisam. Teuku Chik Muhammad Hasan, putra
pertama dari Teuku Chik Nyak Krueng (Teuku Bentara Kuanta), menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai Ulee Balang Keujruen Peusangan Raya setelah ayahnya
wafat pada tahun 1868. Karena kebijakan pemerintahan yang buruk sehingga selalu
mendapat pertentangan dari adiknya. Kemudian kedudukan beliau sebagai Ulee
Balang Keujruen Peusangan Raya dilengserkan oleh adiknya Teuku Bentara Mahmud
Kuta Panjoe (Teuku Moeda Tji'), beliau wafat dalam perebutan kekuasaan dengan
adiknya pada tahun 1872.
Teuku Bentara Mahmud Kuta Panjoe (T.
Moeda Tji'), merupakan putra kedua Teuku Bentara kuanta (Teuku Chik Nyak
Krueng), beliau menggantikan posisi abangnya Teuku Chik Muhammad Hasan sebagai
Ulee Balang Keujruen Peusangan. Masa pemerintahan beliau sangat singkat mulai
1872 - 1875. Pada tahun 1875 mendadak wafat tanpa keterangan yang jelas terkait
penyakitnya. Sisa jabatannya kemudian diduduki oleh keponakannya bernama Teuku
Chik Syamaun.
Masa Perang Peusangan Raya (1882-1899). Konflik ini mulai terjadi saat kepemimpinan Peusangan Raya berada ditangan keturunan ke-3. Saat itu, Teuku Rhi Mahmud Nisam, putra dari Teuku Bentara Keumangan, Ulee Balang (Peutuha) kemukiman Blang Panyang kemudian berganti nama menjadi kenegerian Nisam yang berpusat di Keude Amplah. Ketika perang Peusangan Raya terjadi, Teuku Rhi Mahmud berperan sebagai tuan rumah dalam deklarasi damai pada tahum 1889 yang dimotori oleh asisten residen belanda di pantai timur, Kapten G.A Scherer. Salah satu butir kesepakatan yang dihasilkan adalah mengenai batas wilayah antara Peusangan Barat dan Peusangan Timur (glumpang dua) adalah Glee Mirah Phoen, Cot Ijue. Walaupun demikian deklarasi damai ini gagal mencegah terjadinya perang Peusangan Raya.
Selanjutnya, Teuku Chik Syamaun putra dari Teuku Chik Muhammad Hasan yang lahir di kemukiman Glumpang Dua, Peusangan menggantikan pamannya Teuku Bentara Mahmud Kuta Panjoe (Teuku moeda tji') sebagai Ulee Balang Peusangan yang wafat pada tahun 1875. Menjabat sebagai Ulee Balang Peusangan dari 1875-1899, Teuku Chik Syamaun adalah seorang yang ambisius. Salah satu obsesinya adalah ingin mempersatukan seluruh wilayah Keujruen Peusangan Raya seperti masa dahulu sesuai dengan yang tertera dalam sarakata Sultan Aceh sejak 1182 H. Atas dasar inilah, maka pada tahun 1882 terjadilah perang antar Ulee Balang di wilayah Peusangan Raya. Puncaknya pada 1883 pasukan Ampon Chik Syamaun menyerang Kuta Panjoe, pusat pemerintahan Glumpang Dua. Kuta Panjoe jatuh ke tangan pasukan Ampoen Chik Syamaun, penguasa Glumpang Dua saat itu Teuku bentara Husin melarikan diri ke wilayah Sawang. Beliau menyampaikan protes keras melalui Asisten Residen Belanda di Teluk Samawi G.A. Scherer. Sedikit demi sedikit belanda mulai memainkan perannya pada masa perperangan Peusangan Raya. Teuku Chik Syamaun diminta mundur dari Kuta Panjoe oleh Scherer. Permintaan ini dipenuhi oleh Ampoen Chik Syamaun dengan beberapa persyaratan, untuk sesaat perangpun mereda. Tak lama berselang, pada tahun 1884 pasukan Ampoen Chik Syamaun dibawah pimpinan Teuku Muda Peusangan Maharaja Jeumpa kembali menyerang Kuta Panjoe, Blang Panyang (Nisam), Cunda dan Bayu dari darat maupun laut yang melibatkan pasukan secara besar. Glumpang Dua, Blang Panyang (Nisam) dan Cunda berhasil diduduki oleh Ampoen Syik Syamaun. Protes kembali dilayangkan kepada belanda atas perbuatan Ampoen Syik Syamaun, Belanda memang piawai dalam memainkan perannya di konflik ini. Atas inisiasi residen belanda G.A Scherer, pada tahun 1889 untuk menyelesaikan konflik horizontal ini, dibuatlah satu pertemuan besar antar Ulee Balang di wilayah Keujruen Peusangan, bertempat di Keude Amplah Nisam yang disebut deklarasi Keude Amplah. Pihak-pihak ulee balang yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu, T. Muda Peusangan Maharaja Jeumpa dan T. Keujruen Nusyah Pulo Iboih dari Peusangan Barat. T. Bintara muda husin, T. Bentara Muda Peureudan dari Glumpang Dua, Rhi mahmud mewakili Blang Panyang, Nisam sebagai tuan rumah dan sawang diwakili oleh panglima prang muda beserta Teuku Puteh. Sedangkan dari Cunda dan Meuraksa Bayu diwakili oleh Teuku mahmud beserta T. Bentara muda chik. Deklarasi ini menghasilkan suatu keputusan bahwa batas demarkasi antara Peusangan Barat dan Peusangan Timur adalah Glee Mirah Poen, Cot Ijue. Tetapi sayangnya perjanjian damai ini gagal, karena pertempuran masih terjadi antara kedua belah pihak. Pada tahun 1897 kembali dibuat suatu perjanjian damai di Lhokseumawe yang dimotori oleh Scherer. Kali ini perwakilan Peusangan Timur menunjuk Maharaja Abdul Hamid sebagai perwakilannya sedangkan Peusangan Barat menunjuk T.Raja Itam Geudong sebagai perwakilan arbitrasenya. T. Muda Osoeih (T. Nyak Muda Yusuf) oelim Pidie sebagai hakim arbitrase mewakili assisten residen G.A. Scherer. Deklarasi Lhokseumawe ini menghasilkan keputusan bahwa batas demarkasi antara Peusangan Barat dan Peusangan Timur adalah Krueng Tingkeum Kuta Blang.
Teuku Moeda Peusangan Maharaja Jeumpa, salah satu tokoh paling dominan dalam sejarah peusangan. Beliau merupakan putra kedua Teuku Chik Muhammad Hasan bekas penguasa Keujruen Peusangan (1868-1872), juga merupakan adik dari T.Chik Syamaun juga mantan penguasa negeri peusangan yang memerintah sejak 1875-1899. Beliau lahir di kemukiman Glumpang Dua, tak pasti tahun berapa tapi diperkirakan lahir jelang memasuki pertengahan abad ke 19 Masehi. Dalam perang Peusangan Raya (1882 - 1899), Teuku Muda Peusangan memegang peranan penting dalam mengatur serangan, beliau merupakan orang kepercayaan Teuku Chik Syamaun sebagai seorang ahli strategi tempur, tak salah beliau mendapatkan gelar panglima perang, dalam menghadapi musuh-musuhnya. Salah satu aksi tempan sangat fenomenal adalah pada tahun 1884 memimpin serangan kilat yang dilakukan dari darat dan laut terhadap Negeri Glumpang Dua, Cunda dan Nisam. Hanya dalam hitungan jam, ibukota Glumpang Dua, Kuta Panjo jatuh ke tangan Peusangan, begitu juga negeri Nisam dan Cunda. Para pemimpinnya melarikan diri untuk menyelamatkan diri, seperti Teuku Bintara Husin dan Rhi Mahmud melarikan diri ke Sawang, sedangkan Teuku Chik Johan Cunda melarikan diri ke Teluk Samawi. Teuku Chik Syamaun menunjuk saudaranya Teuku Muda Peusangan sebagai penguasa sementara Glumpang Dua dan Teuku Raja Haji Muda sebagai penguasa Nisam serta Teuku Chik Muda sebagai penguasa Cunda. Hal ini mendapat protes keras dari kubu Peusangan Timur dan memaksa Belanda untuk mendamaikannya. Pada tahun 1889 dibuatlah deklarasi damai yang diprakarsai oleh residen Belanda G.A Scherer. Deklarasi damai ini dinamakan Deklarasi Keude Amplah karena dilakukan bertempat di Keude Amplah Nisam. Dalam deklarasi ini kubu Peusangan Barat diwakili oleh Teuku Muda Peusangan dan Ulee Balang Cot Iboih Teuku Keujruen Nusyah. Sedangkan perwakilan Peusangan Timur diwakili oleh Teuku Bentara Husin dan Bentara Muda Seutia Pereudan mewakili Gloempang Dua. Serta Sawang diwakili oleh panglima prang muda dan Teuku Puteh, Cunda diwakili oleh Teuku Mahmud, Nisam diwakili oleh Rhi Mahmud sendiri dan Bayu oleh Bentara Muda Cik. Deklarasi damai ini gagal diberlakukan karena salah satu pihak masih melanggar kesepakatan sehingga perang Peusangan Raya masih terus berlanjut. Pada tahun 1899 Teuku Chik Syamaun wafat di Peusangan Selatan. Akibat penyakit yang dideritanya, perang Peusangan Raya pun berakhir. Kemudian T. Muda Peusangan naik tahta menggantikan sebagai Ulee Balang Peusangan dengan gelar "Teuku Maharaja Jeumpa" sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama pihak Belanda mengingat putra mahkotanya T. Muhammad Johan Alamsyah masih dibawah Umur. Pada tahun 1903 perlawanan Sultan Muhammad Daudsyah berakhir dengan menyerahnya beliau di Lhokseumawe. Tahun 1905 Belanda mulai membentuk pemerintah otonom daerah yang disebut besturder yang dikepalai oleh seorang wedana. Sebelumnya daerah ini disebut onderhoijgeden yaitu kerajaan-kerajaan otonom yang masih dibawah kontrol Pemerintah Belanda. Ada 103 wedana yg dibentuk pada bekas wilayah kesultanan Aceh. Tahun 1906 Belanda mengangkat Teuku Muda Peusangan Maharaja Jeumpa sebagai wedana pertama Peusangan. Pada tahun 1908, Teuku Muhammd Johan Alamsyah menamatkan pendidikan di Normal School Kutaraja, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat waktu itu, T.Muhammad Johan Alamsyah menggantikan pamannya sebagai wedana Peusangan. Selanjutnya Teuku Muda Peusangan hanya memegang kendali sebagai Ulee Balang Cut Jeumpa Bireuen. Pada 1915 beliau wafat dan dimakamkan di Cot Glee, Keude Matang berdekatan dengan kampus Almuslim, Peusangan Bireuen.
Teuku Bentara Husin (Teuku Moeda Nyak
Krueng), merupakan putra sulung Ulee Balang Geuleumpang Dua T. Bentara
Mahmud Kuta Panjoe. Beliau menjabat sebagai Peutuha kemukiman Glumpang Dua
dengan Kuta Panjoe sebagai pusat pemerintahannya menggantikan ayahnya Teuku
Bentara Mahmud Kuta Panjoe yang telah naik jabatan menjadi Keujruen Peusangan
dengan berhasil melengserkan T. Chik Muhammad Hasan pada tahun 1872. Kemudian
pada tahun 1875 T. Chik Syamaun naik tahta menggantikan pamannya yang wafat
secara tiba-tiba. Pada tahun 1882 meletus perang Peusangan Raya dan Kuta Panjoe
diduduki oleh Ulee Balang Peusangan T. Chik Syamaun, menyebabkan keluarga Teuku
Bentara Husin harus mengungsi sementara ke wilayah dataran tinggi Sawang.
Wilayah mukim Glumpang Dua merupakan cikal bakal berdirinya zelbesturder
Glumpang Dua yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1900. Bersama
zelbesturder Samalanga dan Peusangan masuk dalam wilayah onderafdeling Biroen
yang di pimpin seorang kontrolir Belanda di Bireuen.
Pocut Haji
Intan (Istri Teuku Laksamana Sawang Banggalang), putri dari Ulee Balang Glumpang Dua
Teuku Bentara Mahmud Kuta Panjoe yang dinikahi oleh Teuku Laksamana Sawang
seorang utusan Sultan Aceh yang berasal dari Blang Galang, Reubee , Pidie. Nama
beliau dinisbathkan kepada Banggalang, beliau juga keturunan langsung dari
Meuntroe Banggalang seorang penasehat (wazir) Sultan Alaiddin Ibrahim
Mansyursyah (1856-1870). Beliau mendapat sarakata dari Sultan Aceh pada tahun
1869 akhir masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyursyah. Teuku
Laksamana Sawang juga merupakan kerabat dekat Teuku Beutong Banggalang yang
juga mendapatkan sarakata dari sultan aceh utk mendirikan Negeri Beutoeng, Aceh
Barat. Wafat pada 1882 dan dimakamkan di gampoeng gunci sawang, aceh utara. Pada
sarakata disebutkan juga, pada 1182 H (1672/3 M), Panglima Teuku Diadjat Pasee
atau Ponyak Djat mendapat hadiah sarakata (surat pengakuan cap sikureung) dari
sultan aceh yang pada masa itu diperintah oleh Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam
(1641 - 1675) dengan gelar "Keujruen Chik Peusangan Seutya Radja".
Ponyak Djat atau Panglima Perang Teuku Diadjad Pasee adalah seorang panglima
perang dari Negeri Pasee yang hijrah ke Negeri Peusangan dan diangkat menjadi
Keujreun Syiek di Negeri Peusangan Raya oleh sultan aceh. Menurut yang tercatat
dalam kitab sarakata sultan aceh beliau masih keturunan ahlulbait dari garis
sayyidina Hasan ra yang berasal melalui dinasti abbasiyah irak yang hijrah ke
Negeri Pasee pada abad ke 13.
Teuku Bentara Blang (Teuku Keujruen Gok), merupakan putra bungsu dari Ulee Balang Glumpang Dua Teuku Bentara Mahmud Kuta Panjoe. Beliau merupakan kepala pemerintahan kemukiman sawang sebelum resmi mendapat sarakata dari sultan aceh. Teuku Bentara Blang menikah dengan seorang wanita di Buloeh Beureugang di wilayah kemukiman Cunda. Beliau wafat pada 1882 setelah terjadi perebutan kekuasaan tahta Sawang dengan keponakannya sendiri Teuku Panglima Nyak Ben (Pang Benseh).
Masa pemerintahan Keujruen Peusangan Raya kemudian dikuasai oleh keturunan ke-4, yang pertama adalah Teuku Raja Ma' Ali (Teuku Raja Muhammad Ali), putra tertua Teuku Rhi Mahmud Nisam. Lahir di Keude Amplah Nisam pada 1884 saat berkecamuknya perang Peusangan Raya. Beliau menggantikan ayahnya sebagai Ulee Balang Nisam. Kemudian pada tahun 1900 diangkat sebagai zelfbesturder pertama Nisam, pernah menjabat sebagai kepala lansekap sementara wilayah Puentuet tahun 1911. Pada 1912 posisi beliau sebagai zelbesturder nisam digantikan oleh adiknya Teuku Bujang Salim. Teuku Bujang Salim lahir di Keude Amplah, Nisam pada tahun 1891. Pada saat itu bandar Kuala Bangka (kuala geukueh) merupakan salah satu pelabuhan yang ramai di wilayah Keujruen Peusangan. Seluruh hasil bumi dari Negeri Nisam dipasarkan melalui pelabuhan ini. Bandar Kuala Bangka (krueng geukueh) ini juga menjadi pusat pemerintahan zelfbesturder Nisam. Sedangkan nama Dewantara adalah nama yang muncul belakangan pada tahun 1950 setelah ditetapkan pemerintahan kecamatan, yang menurut kabar dari masyarakat setempat ada hubungannya dengan Ki Hajar Dewantara, Tokoh Pejuang asal Yogyakarta bidang pendidikan yang notabenanya sama dengan Teuku Bujang Salim, Krueng Geukueh. Pada Tahun 1901 saat Teuku Bujang Salim berumur 10 Tahun, beliau diambil oleh Belanda dan disekolahkan di "Sekolah Raja" (Kweekschool) Bukittinggi, Teuku Bujang bersekolah di HIS Hollandsch Inlandsch School (HIS) sekolah dasarnya Belanda dengan lama study sekitar tujuh tahun. Setelah itu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sederajat dengan SLTP selama 3 tahun dan sekolah kweekschool atau sekolah guru. Setelah menempuh pendidikan selama 10 tahun di Padang, Teuku Bujang dikembalikan kepada orang tuanya Teuku Rhi Mahmud di Keude Amplah Nisam dan pada tahun 1911 diangkat oleh Belanda menjadi Zelfbestuurder Negeri Nisam menggantikan abangnya Teuku Raja Ma' Ali. Dan dalam masa itu pula beliau menikah dengan Cut Bayu anak seorang Teungku Imum Tambon Tunong yang tidak jelas siapa namanya, dari Cut Bayu Teuku Bujang mempunyai satu anak yang bernama Babuyu atau kemudian dikenal dengan sebutan Hj. Cut Babuyujang.Teuku Bujang memberikan nama anaknya dari kumpulan huruf namanya dan nama isterinya yang dikombinasikan menjadi kata, seperti nama Hj Cut Babuyu dan Cut Babujanja dan nama-nama lain yang akan ditemukan dalam tulisan ini. Pada 1921 Teuku Bujang Salim dipecat sebagai zelfbesturder Nisam karena terlibat dalam organisasi terlarang Syarekat Islam (SI) yg didirikan oleh HOS Tjokroaminoto pada 1912 di Yogyakarta. Namun jiwanya yang tidak mau dijajah tetap membara dan membuat perlawanan terhadap Belanda, dengan membentuk Persatuan Muslim Bersatu pada tahun 1921 yang akhirnya membuat Belanda berang dan mengancam akan memberhentikan beliau dari jabatannya sebagai wedana Nisam dan membuang beliau ke Tanah Merah, Bovendigul, Papua. Ancaman ini tidak main-main, pertama kali beliau ditangkap dan dipenjarakan di Keudah Banda Aceh dan dibina, namun tidak berhenti disitu, beliau dibawa ke penjara Belanda lainnya di Meulaboh, namun dalam pembuangan demi pembuangan, Teuku Bujang terus menyuarakan kemerdekaan dari jajahan Belanda dan akhirnya kemarahan Belanda memuncak dengan mengancam akan membawa beliau ke Meurauke, Papua. Dan karena sikap kontranya kepada Belanda yang demikian besar, ia melakukan perlawanan secara politik baik dengan cara membentuk Organisasi Perlawanan Rakyat maupun memperkuat masyarakat dengan ilmu agama dan pendidikan umum lainnya. Hal ini membuat Belanda semakin geram dan akhirnya pada Tahun 1922, Teuku Bujang Salim diasingkan ke Meurauke Papua. Dengan meninggalkan anak dan isterinya di Aceh (Cut Babuyujang dan Cut Bayu), pengasingan yang dilakukan Belanda dengan melepaskan beberapa orang Indonesia lainnya, dilokasi pengasingan dengan kondisi alam hutan lebat (tidak ada penjara khusus namun tahanan tetap dalam pengawasan Belanda), mereka hidup dengan bertani dan bercocok tanam di hutan Papua. Di Merauke, Teuku Bujang tetap melakukan aktifitas bidang pendidikan idiologi dan keagamaan yang sangat ditakuti oleh Belanda, dan disana pula beliau menikah kembali untuk kedua kalinya dengan Djawijah binti Karmin, anak dari Pak Karmin seorang pejuang asal Banten yang juga diasingkan Belanda, dan pada Tahun 1934 Teuku Bujang dikarunikan seorang anak laki -laki yang bernama T. Bunjanjayah. Setelah dikaruniakan anak pertamanya dari Cut Djawijah, pada tahun 1935 Teuku Bujang kembali diasingkan Belanda ke Moeven Digul, sebab beliau mengajarkan idiologi kemerdekaan dan ilmu agama di Meurauke. Boeven Digul berbeda dengan Meurauke, kawasan ini terletak di belantara yang diapit oleh sungai Digul yang dikenal penuh dengan binatang buas seperti buaya dan sebagainya, dan di Digul, tawanan pejuang kemerdekaan ditempatkan dalam penjara yang lumayan luas dan kali ini anak dan isterinya diikutsertakan. Di Boeven Digul, Teuku Bujang mempunyai Putra/Putri T. Djangdjakedi, seorang guru juga perintis pusat pendidikan yayasan Bujang Salim (Yabus) di Paloh Lada, Dewantara. Setelah T. Djangdjakedi, lahir Putrinya yang bernama Cut Djangjayahdi yang juga berprofesi sebagai tenaga pendidik dan dosen FKIP bahasa inggris UNSYIAH. Dan narasumber tulisan ini, Cut Babunjanja dan Gulyankedi yang sampai saat ini menetap di Meurauke, Papua. Kemudian pada Tahun 1942, Jepang datang dan menggantikan posisi Belanda untuk menjajah dan dengan menyebarkan selebaran ke kawasan Boeven Digul yang berisi kabar pemulangan tawanan Belanda. Namun para pejuang yang diantaranya Teuku Bujang, belum dipulangkan ke daerahnya, namun diungsikan melalui jalan sungai dengan menggunakan perahu yang tembus kel aut dan di laut lepas sudah ada kapal induk yang menunggu mereka, kemudian para tawanan ini diterbangkan ke Australia dengan pesawat yang ada di kapal induk tersebut.
Penjajahan Belanda terhadap Indonesia benar-benar berakhir saat Pemerintah Jepang melakukan penyerangan. Tanggal 27 Februari 1942 tentara Jepang berhasil mengalahkan armada gabungan dari Negara Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia. Kemudian, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, tentara Jepang mulai menginjakkan kaki ke Pulau Jawa. Di sana Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mengancam akan menyerang Belanda apabila tidak segera menyerah. Pada akhirnya setelah mengalami kekalahan terus menerus dari pihak Jepang, Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer sebagai Jenderal Hindia Belanda menyerah dan ditangkap. Hal ini menjadi tanda dimulainya masa penjajahan Jepang di Indonesia sekaligus berakhirnya sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Tahun 1943, Para tawanan Belanda ini di tempatkan di Mackay, Australia dan disana pula Teuku Bujang dianugerahi satu putri lagi yang diberi nama Cut Macaustrali yang makamnya berada di Banda Aceh. Masa Indonesia dalam jajahan Jepang, para tawanan politik ini berada di Australia sampai tahun 1945 saat Sukarno memprolakmirkan kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian para tawanan perang ini yang disebut orang buangan,
dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada akhir 1945, akhirnya mereka diberangkatkan
dari Australia menuju Jakarta pada awal 1946. Mereka dimasukkan ke kamp Chause
Complex dan satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke
Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim,
karena anaknya sakit keras, tertunda keberangkatan sampai empat bulan lamanya. Bujang
Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan
Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh
Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu
kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Pada Maret 1948, ia
ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua
hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia
dibawa ke Medan. Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu,
Teungku Daud Beureueh, Teuku Bujang diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh).
Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukueh, yang saat itu berada dalam
Nanggroe Nisam dan saat inilah lahir Putri Bungsunnya Cut Aceh Neksom atau Hj.
Atjeh Neksom. Aceh sendiri pada saat itu tengah mengalami masa-masa sulit pasca
bergabung dengan NKRI, dimana Daerah Istimewa Aceh digabungkan dengan Provinsi
Sumatera Utara, dan berbagia konflik pecah di Aceh ketika itu. Dan sekembalinya
ke kampung halaman Teuku Bujang bergabung dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA) sambil meletakkan pondasi pembagunan pusat pendidikan dan membangun
Ibukota Kecamatan Nisam, yang bernama Krueng Geukueh ketika itu, beliau juga
mengirim guru-guru di Krueng Geukueh untuk belajar ke Padang dan seterusnya
mendidik anak-anak Krueng Geukueh dan sekitarnnya disekolah MIN, MTsN dan PGA
yang beliau bangun di tanah yang telah dihibahkan dekat sebelah Utara Masjid
Besar Bujang Salim. Teuku Bujang meninggal pada 14 Januari 1959 dan dimakamkan dekat
Masjid Besar Bujang Salim yang dibangun atas prakarsanya.
Teuku Banta Luthan, merupakan putra
dari Ulee Balang Nisam Teuku Rhi Mahmud, lahir di Keude Amplah Nisam pada tahun
1897. Beliau menggantikan posisi abangnya Teuku Bujang Salim yg dipecat oleh
pemerintah belanda sebagai zelfbesturder pada tahun 1925 dan berakhir sejak
pemerintah belanda digantikan oleh penjajahan jepang pada 1942. Selanjutnya, Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah, lahir
pada 1890 di Peusangan Barat putra semata wayang dari Teuku Chik Syamaun.
Sebelum Teuku Chik Syamaun wafat pada 1899, beliau telah mewasiatkan putranya
Teuku Chik Johan Alamsyah di hadapan assisten residen Belanda kapten G.A
Scherer di Lhokseumawe yang disaksikan oleh teuku muda Peusangan Maharaja Jeumpa
sebagai walinya, bahwa kelak putranya jika telah cukup umur akan
menggantikannya sebagai ulee balang peusangan. Sementara Teuku Chik Johan
Alamsyah belum cukup umur, maka posisi Ulee Balang Peusangan sementara dijabat
oleh walinya yaitu Teuku Muda Peusangan Maharaja Jeumpa. Sesuai dengan
perjanjian, pada Tahun 1900 beliau diambil oleh Belanda dan disekolahkan di
"Sekolah belanda'" (Kweekschool) di Kutaraja. Teuku Chik Johan
Alamsyah menamatkan pendidikan di HIS sekolah dasarnya Belanda sekitar 7 tahun,
lalu melanjutkan ke MULO selama 3 tahun dan melanjutkan lagi pada sekolah
Normal School setingkat SMA sekarang. Pada tahun 1908 Teuku Muhammad Johan
Alamsyah diangkat menjadi zelfbesturder Peusangan setelah beliau lulus dari
Normaal scholl di kuta Raja. Beliau menggantikan pamannya Teuku Moeda Peusangan
Maharaja Jeumpa. Kemudian pada tahun 1938 bersama adiknya Teuku bustamam
mendirikan sebuah lembaga pendidikan islam Al Muslim bersama tokoh lain
diantaranya, Tgk Hasan Ibrahim Awee Geutah, Tgk Izzuddin AB Neuheun, Tgk Habib
Mahmud Meunasah Meucap, Tgk Abd Rahman Meunasah Meucap, Tgk H. Mahyeddin Uteun
Gathom, Tgk H. M. Amin Bugak, Tgk M. Amin Meunasah barat, Tgk M. Abbas Bardan
jangka, Tgk M. Abed Idham pante ara, Tgk Usman Aziz lhoksukon, Tgk Ibrahim Zen
Meunasah dayah, Teuku Peutua Syah Bugak, Tgk Usman Basyah leubue, Teuku Hasan
cut jeumpa bireuen, Teuku M. Ali Leubue, dan Teuku H.M Ali Blang Asan. Lembaga
pendidikan Al Muslim merupakan cikal bakal berdirinya Universitas Al Muslim,
Bireuen. Setahun kemudian ditempat yang sama tepatnya tahun 1939 bersama Tgk
Daod Bereueh dan Tgk Abd Rahman Meunasah Meucap Geulumpang Dua yang juga
menjabat sebagai ketua lembaga pendidikan Islam Al Muslim mendeklarasikan
terbentuknya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Matang Geuleumpang Dua.
Beliau wafat pada tahun 1957 dan dimakamkan di sekitar Padang Bulan, Medan.
0 Komentar